BILINGUALISME
MAKALAH
Disusun dan diajukan Tugas Terstruktur
Mata kuliah : Konsep Dasar Bahasa & Sastra Indonesia I
Pengampu : Suwarjono S.Pd, M.Si
Disusun Oleh :
Khusnul Khotimah (40210064)
PROGRAM STUDI PGSD 2
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP ISLAM BUMIAYU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa Indonesia bersumber dari bahasa melayu Riau yang mengalami perubahan dan perkembangan setiap sesuai dengan perkembangan zaman.Bahasa Melayu Riau menjadi bahasa nasional dicetuskan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan Hari Sumpah Pemuda. Diangkat menjadi bahasa negara seperti tercantum dalam UUD 1945 dan sebagai pengukuhannya adalah pasal 36.
Bahasa Indonesia yang bersifat Dinamis, dipakai oleh rakyat yang tersiri berbagai suku yang masing-masing mempunyai bahasa daerah. Bahasa Indonesia tersebut mengalami pengaruh dari bahasa daerah itu, misalnya bahasa Jawa, Bahasa sunda, bahasa Batak, dan bahsa daerah lainnya. Disamping itu bahasa indonesia mendapat pengaruh dari bahasa asing, misalnya bahasa inggris bahasa belanda, bahasa jepang, bahasa perancis, dan bahasa asing lainnya.
Masuknya pengaruh bahasa daerah ke dalam bahasa indonesia yang menyebabkan perkembangan bahasa indonesia tidak berarti tidak mengalami hambatan. Perkembangan bahasa indonesia dengan berbagai hambatan akan menyebabkan bahasa indonesia lebih cepat dewasa. Kita tahu bahwa untuk mendewasakan bahasa itu tidak mudah. Dalam proses pendewasan bahasa indonesia, disisi lain bangsa indonesia harus menghadapi bahasa asing yang sangat maju, di pihak lain ia harus menghapapi bahasa daerah yang nampaknya sudah berakar pada masyarakat setempat. Persaingan antara bahsa daerah dan bahasa indonesia ini menjadi hambatan bagi bangsa indoesia itu sendiri.
B. Permasalahan
Dari latar belakang yang telah disampaikan, dapat memunculkan berbagai macam pertanyaan yang menjadi permasalahan, seperti :
1. Apa yang dimaksud dengan bilingualiseme?
2. Sebutkan dan jelaskan pembagian bilingualisme?
3. Apa yang dimaksud dengan diglosia?
4. Apa keterkaitan antara bilingualisme dan diglosia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bilingualisme.
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosialinguistik secara umum, bilinguslisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73).
Dibawah ini adalah pendapat-pendapat atau definisi tantang kedwibahasaan atau bilingualisme oleh para pakar ahlinya. Menurut para pakar kedwibahasaan didefinisikan sebagai berikut:
1. Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2. MacKey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3. Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4. Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.
5. Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
6. Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perencis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan). Selain istilah bilingualisme dengan segala jabarannya ada juga istilah multilingualisme (dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan) yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa oleh seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseoran harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2).
Setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Umpamanya, di Indonesia penutur bilingual bahasa sunda (B1) – bahasa Indonesia (B2), hanya bisa menggunakan bahasa sundanya untuk percakapan yang bersifat kekeluargaan, dan tidak dapat menggunakannya untuk berbicara dalam siding DPR. Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya pembeda penggunaan bahasa berdasarkan fungsinya atau peranannya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
B. Pembagian bilingualisme
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-dendiri.
2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
1. Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
2. Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada didalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a. Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b. Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c. Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
3. Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism)
C. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “diglosia”.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topik:
1) Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat pentin. Menurut ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
2) Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di Negara-negara berbahasa arab, bahasa yunani, bahasa prancis, dan bahasa jerman.
4) Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5) Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standarisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
6) Stabilitas
Kesetabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7) Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R diangap artificial.
8) Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9) Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan structural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pakar sosiologi yang lain, yakni Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara du bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fingsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia.
D. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Kalau diglosia diartikan sebagai adanya perbedaan fungsi atas penggunaan bahasa (terutama fungsi T dan R) dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat. Adanya empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, yaitu :
1) Bilingualisme dan diglosia
2) Bilingualisme tanpa diglosia
3) Diglosia tanpa bilingualisme
4) Tidak bilingualisme dan tidak diglosia
BAB III
PENUTUP
Dari permasalahan yang sudah disinggung sebelumnya, maka dapat disimpulkan mennjadi beberapa kesimpulan, yang diantaranya :
Dari definisi-definisi para ahli atau pendapat bahwa kedwibahasaan berhubungan erat dengan pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang dwibahasawan atau masyarakat dwibahasawan secara bergantian. Pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseftif oleh seorang individu atau oleh masyarakat.
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
1. Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
2. Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
3. Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Selain pembagian diatas juga ada pembagian menurut para ahli atau pendapat, seperti Baeten Beardsmore, Menurut Pohl, menurut Arsenan.
Diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Definisi dari ferguson juga mengungkapkan diglosia menjadi sembilan pokok, yaitu Fungsi, Prestise,Warisan Kesusastraan,Pemerolehan, Standardisasi,Stabilitas, Gramatika,Leksikon,Fonologi.
DAFTAR PUSTAKA
Suwarjono. 2011. Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia 1 untuk Mahasiswa S1 PGSD semester 3 (tiga). Bumiayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar